Baru
saja kita memperingati hari Pahlawan 10 November 2015 , tak terkira jumlahnya
nyawa yang telah dikorbankan demi kedaulatan hidup berbangsa dan bernegara
serta melindungi Hak Hak Penghuninya. Adapun salah satu hak tersebut adalah Hak
untuk mendapatkan pendidikan , sebagaimana tercantum dalam BAB XA tentang Hak
Asasi Manusia.
UUD
1945 setelah Amandemen , memuat bahwa Hak memperoleh Pendidikan merupakan salah
satu hak dasar warga negara (citizen’s right) pada BAB XIII tentang
Pendidikan dan Kebudayaan.
Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.”
Pasal 31 ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara
berhak mendapat pendidikan.”Hak-hak dasar itu adalah akibat logis
dari dasar negara Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia.Pasal 31 ayat (1)
diatas segera diikuti oleh pasal 31 ayat (2) yang menyatakan “Setiap warganegara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Selanjutnya Pasal 31 ayat (3)
menyatakan “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Jika ketentuan UUD 1945 itu
dicermati maka mengikuti pendidikan adalah hak asasi bagi setiap orang
dan bagi warganegara Indonesia mengikuti pendidikan dasar adalah kewajiban.
Menghalangi dan atau melarang anak Indonesia bersekolah adalah perbuatan
melanggar hukum tertinggi (UUD 1945) dan ada sanksinya. Dan sejalan dengan
itu UUD 1945 mewajibkan pemerintah untuk membiayai kegiatan pendidikan,
yaitu sedikit-dikitnya 20% dari APBN dan dari masing-masing APBD propinsi dan
kabupaten kota (Pasal 31 ayat (4) UUD 1945).
Memahami esensi dari amanah
Undang Undang , dengan memotret Realitas Pelaksanaan Proses dan Sistem
Pendidikan yang ada. Maka betapa kita harus mengelus dada. Sebab ruh dari
pertautan antara Hak Warga Negara dalam memperoleh Pendidikan di sebuah Negri
yang Merdeka dan Berdaulat yang Kontitusi Tertingginya memerintahkan bahwa
biaya kegiatan Pendidikan di tanggung oleh Negara, realitasnya kecenderungan
Improvisasi oleh Penyelenggara Pendidikan hampir terjadi dimana mana. Langkah
Improvisasi dan Inovatif yang sejalan dengan amanah Undang Undang , tidak
menjadi masalah, tetapi kalau sudah mengarah pada Komersialisasi Pendidikan
dengan kata lain “memperjual belikan” Hak Dasar Warga dalam mengenyam
Pendidikan , adalah “keniscayaan”.
Betapa trend yang ada ,
Sekolah kini pada prakteknya telah bergeser ke arah Perusahaan Sekolah Dasar
hingga Perusahaan Perguruan Tinggi, seiring kesadaran masyarakat cenderung
tinggi terhadap pentingnya Pendidikan , maka teori ekonomi berlaku “Semakin
Besar Permintaan , maka semakin mahal “Harga Barang”. Ironisnya Dana Bantuan
Operasional Sekolah sekalipun tiap tahun digelontorkan , nampaknya tak juga
menurunkan biaya bagi Siswa.
Demikian juga Ploting Anggaran
APBD maupun APBN dalam Pembangunan Infrastruktur Sekolah , Gedung dan Lainnya ,
juga tak mampu menghentikan , Restribusi Uang Pembangunan bagi Siswa Siswi yang menempuh Pendidikan di
Sekolah yang bersangkutan.
Belum lagi kerjasama Pengelola
Sekolah dengan pensuplay Buku Buku Pelajaran
yang bukan menjadi rahasia lagi ,
bahwa terjadi “bagi komisi” keuntungan dari perdagangan buku untuk siswa,
semakin banyak buku terjual maka semakin banyak kompensasi prosentase
keuntungan yang didapatkan oleh Kepalad Dinas Pendidikannya hingga ke Pengelola
Sekolah.
Praktek Konspirasi UUD (Ujung
Ujungnya Duit) akhirnya terjadi disegala lini , dari menyiasati Dana BOS,
Sumbangan Gedung, Seragam Sekolah, Iuran Siswa, Uang Partisipasi Kegiatan dan
masih banyak lagi yang lainnya dari tahun ke tahun berlangsung, tak perduli
siapapun Presidennya, Gubernurnya bahkan Bupatinya , menjadikan Siwa
sebagai Obyeknya dan otomatis Orang Tua Wali Muridlah yang
menanggung bebannya.Dan lebih ironis lagi tak terasa Wali Murid dengan
bungkusan Komite Sekolah justru menjadi “penyambung lidah” hasrat dan siasat
Pengelola Sekolah. Sungguh sebentuk konspirasi yang cantik.
Teori Ekonomi , “Dimana ada
kerumunan orang, disitulah akan tercipta pasar yang potensi, benar adanya”.
Semangat dan tujuan dari Profesi mulia , yakni mencerdaskan kehidupan Anak Anak
Bangsa , rasanya semakin lama semakin tercerabut dari akarnya.
Anak orang miskin dilarang
sekolah di Sekolah Favorit apalagi Perguruan Tinggi Negri Favorit , semakin
hari semakin benar adanya, sebab yang bisa sekolah dan menempuh Pendidikan di
Perguruan Tinggi tersebut adalah mereka yang memiliki kemampuan “membeli” dan
“membayar” , “Harga” yang dilabelkan, jika tidak mampu , silahkan minggir.
Akankah kondisi ini dibiarkan
berlangsung dari waktu ke waktu tanpa “regulasi” yang jelas, sedang
kenyataannya telah terjadi pelanggaran Hak Hak Azasi bagi Rakyat “miskin” di
aspek Hak memperoleh Pendidikan.
Mimpi Sekolah Gratis , semoga
nantinya tidak sekedar menjadi mimpi belaka.
Bisakah kab Pasuruan menerapkan pendidikan gratis terutama tingkat sma/smk? Ingat pasuruan termasuk penerima cukai tertinggi tp kalah dg daerah2 lain spt kota pasuruan, knapa daerah lain, kab pasuruan tdk bisa????
BalasHapus