“Vox Populi Vox Dei” ( Suara Rakyat
Suara Tuhan ) demikian
ungkapan yang sering kita dengar tatkala
menyederhanakan substansi Demokrasi”. Sementara Presiden Abraham Lincoln (1860-1865)
mengatakan “Demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for
the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat) sebelas tahun
kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada
tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from
company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan
dan untuk perusahaan)
Demokrasi
yang awalnya spirit kolektivisme politik akhirnya digantikan “individualisme”,
ikatan ideologi diganti hasrat pragmatisme kekuasaan individu.
Jalannya politik atau roda demokrasi lalu digerakkan dan ditentukan oleh orang-orang kaya alias para kapitalis, sehingga terjadilah apa yang disebut sebagai kapitalisme politik. Dan dalam cengkeraman kapitalisme politik hanya orang-orang kaya (para oligarch) yang mampu bertahan dan bersaing dalam medan pertarungan politik. Akibat lanjutannya, demokrasi pun terdistorsi menjadi sistem ”oligarki politik” dan “oligarki ekonomi”, dua sisi mata uang yang sama, bertujuan menumpuk kekayaan untuk kekuasaan dan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Jalannya politik atau roda demokrasi lalu digerakkan dan ditentukan oleh orang-orang kaya alias para kapitalis, sehingga terjadilah apa yang disebut sebagai kapitalisme politik. Dan dalam cengkeraman kapitalisme politik hanya orang-orang kaya (para oligarch) yang mampu bertahan dan bersaing dalam medan pertarungan politik. Akibat lanjutannya, demokrasi pun terdistorsi menjadi sistem ”oligarki politik” dan “oligarki ekonomi”, dua sisi mata uang yang sama, bertujuan menumpuk kekayaan untuk kekuasaan dan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Apa
jadinya jika Politik atau Demokrasi dengan segala unsurnya di komersialkan ?
Sehingga Kursi Kepala Desa , Bupati ,Gubernur sampai Presiden , demikian juga
Kursi Anggota Dewan dan Jabatan Strategisnya semuanya di label Rupiah. Akankah
”oligarki politik” dan “oligarki ekonomi” akhirnya menjadi “Sistem”.
Karena
kini Produk yang dihasilkan “Eksekutif
dan Legsilatif” dalam bentuk Undang Undang akhirnya juga dikonversikan dengan
nilai tukar rupiah yang cukup signifikan.
Kemudian
muncul pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan nasib rakyat / masyarakat dan
bangsa kita dalam gerbong politik demokrasi yang oligarkis dengan spirit
“Komersial” ?
Robert
B Reich, Cendikia dan Ekonom Amerika Serikat dengan bukunya Supercapitalism
(2008), mengemukakan bahwa demokrasi akan mandul karena gerusan
superkapitalisme, dan demokrasi tidak lagi fokus pada misi pokoknya yakni
mendorong kesejahteraan rakyat dengan mengurai dan “memfollowupi” problem di
masyarakat. Mengapa? Karena kultur kebebasan dan kesetaraan yang dipromosikan
yakni “demokrasi” yang diyakini dapat mendobrak ekonomi negara ,demi
kepentingan masyarakat luas ternyata ujung ujungnya hanya menghasilkan
pemerintahan yang dijalankan berdasarkan kapentingan besar segilintir orang
yang sedang mengejar kepentingan dan keuntungannya sendiri dan kelompok
koalisinya , tanpa lagi perduli kepentingan masyarakat luas apalagi bangsa.
Kesejahteraan
rakyat kian terkubur dalam makam-makam orientasi kapitalisme politik,
golongan, strata dan kasta tertentu
dalam masyarakat yang terlanjur “turun temurun” menikmati manisnya kekuasaan
“hasil pembodohan” masyarakat.
Lantas
apakah wajah demokrasi seperti ini layak dipertahankan dan dikembangkan atau,
apakah ke depannya, kita akan terus mengalami hal seperti ini?
Sesungguhnya
persoalan utamanya adalah bukan salah “demokrasi” atau sistemnya. Sesungguhnya
baik buruknya demokrasi tergantung pada bagaimana kita bersama sama menyikapi,
mengelola dan mengembangkannya sesuai hakikat dan prinsip demokrasi itu
sendiri.
Tetapi
tidak dapat dipungkiri jika awalnya sudah terjadi “transaksional” dari “one man one vote, one man one dollar”
(Satu orang satu suara, satu orang satu dolar) , maka ini jadi pemantik dan
“penyubur” penyimpangan berkelanjutan. Belum lagi prilaku kandidat yang dengan
serta merta lebih mengedepankan “pembunuhan karakter” lebih pada sebab
“kelompok , golongan dan trah” yang cenderung mengeksploitasi “keterbelakangan
informasi” dan kondisi sosial masyarakat. Maka menjadi semakin komplit bahwa
“leadhersip” atau “kepemimpinan” tak lagi terikat pada etik dan norma yang
semestinya dijunjung tinggi dalam peradaban manusia.
Sehingga
fokusnya menjadi Dewan atau Bupati juga Gubernur apalagi Presiden tak lagi
fokus pada kisi kisi substansi kepribadian dan latar belakang , tetapi lebih
pada tuntutan mengeluarkan biaya besar untuk membeli suara ke rakyat dalam
mencapai syarat yang telah ditentukan KPUD , maka jangan heran jika setelah
tercapai tujuannya mereka pun ibarat berdagang
, selanjutnya akan fokus mengembalikan
modalnya seusai “membeli” suara.
Lantas
darimana uang itu ? Tidak dapat dipungkiri Korupsi, Kolusi dan Gratifikasi
menjadi aktifitas harian dalam Sistem Pemerintahan yang terlanjur terjebak di
pola demokrasi yang esensi aplikasinya adalah “jual beli” suara.
Kondisi
yang telah sedemikian ini , sampai kapan..? Akankah kita dapat keluar dari
lingkaran “kelemahan” sikap kita , sehingga “kemerdekaan berbangsa dan
bernegara” yang telah kita raih sebelumnya , harus tergadai kembali oleh
“prilaku politik” anak anak negri.
“Kemenangan tak dapat kita raih , jika kita
hanya duduk , diam dan berpangku tangan , apalagi bercerai berai” (Surya Paloh)
, Semoga dengan Puasa ini, kita semua mendapatkan Hidayah, dan diberikan
kemenangan, yang diawali kemenangan atas sikap diri kita sendiri , sehingga
tatkala “INDONESIA MEMANGGIL KEMBALI KE FITRI DEMI NEGRI” , maka Introspeksi
diri selama RAMADHAN ini , untuk selanjutnya tersemat tekad berbuat yang lebih
baik untuk Negri kita tercinta. Amin....
(H.Joko
Cahyono,SE,SH,MH. Ketua DPD Partai NasDem Kabupaten Pasuruan)
0 komentar:
Posting Komentar