Mengapa
Perlu Cerdas Terhadap Media ? Media itu, semua kebutuhan
akan coba dipenuhi oleh teknologi yang semakin canggih. Dan manusia serasa
dimanjakan oleh teknologi. (ubiquitous ) ada dimana mana, media
itu Mempengaruhi ,respon hanya tentang berita-berita actual lainnya (the
pictures in our heads). Sikap dan opini kita amat dipengaruhi oleh
informasi yang dibawa oleh media. . Media telah menjadi kekuatan nyata (actual
power) yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Perkembangan
Karakeristik Media Media berkembang semakin kompleks Media Konvensional Semakin Terkonsentrasi. Media
baru semakin “Liberal” dan beragam. Media mengalami Komersialisasi Sebagian besar media telah menjadi bagian dari
aktivitas politik. Media politik cenderung mengabaikan etika jurnalistik. Benarkah
Media Memprovokasi?
Idealnya
media hanya mengungkap fakta secara objektif. Faktanya media telah mengemas
“fakta”. Ketika Media memiliki Agenda Politik, maka content media always
reflect the interest those who own them. Banyak Media kehilangan Komitmennya terhadap
objektivitas tatkala menjadi alat politik. Ketika Media menjadi bagian dari
propaganda politik, Media makin kaya dengan “Framing” hingga “trick”
manipulasi. Mengidentifikasi Kredibilitas Media. Melihat sisi Badan Hukum nya,
sesuai UU Pers? Melihat Komitmennya pada
Kode Etik Jurnalistik. Melihat identitas dan alamat penglolanya. Mellihat
kaitannya atau berafiliasinya dengan
Partai Politik. Melihat Kemunculannya didasari kepentingan politik praktis atau tidak Melihat reputasi pengelolanya dalam dunia jurnalistik.
Presiden
Jokowi pada Pidato Kenegaraan di hadapan sidang gabungan DPR-DPD pada tanggal
14 Agustus 2015 kemarin dengan tegas menyinggung perilaku media yang lebih mengejar
rating dari pada menjalankan fungsi pendidikan bagi masyarakat. Pernyataan tegas Presiden yang bahkan
sempat diulangi dua kali tersebut seolah menegaskan anggapan bahwa media
terkadang lebih mementingkan kepentingan bisnis dan industri yang money oriented dibanding menjadi pedoman
bagi masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar, berimbang dan
mencerdaskan.
Saat
ini, media seolah-olah menjadi makanan masyarakat yang terlanjur mempercayai
apapun yang disampaikan media. Media bahkan menjadi referensi pertama dan utama
dalam wacana apapun yang diperbincangkan
di masyarakat. Padahal seperti kita ketahui, tingkat akurasi pemberitaan media
terkadang cukup rendah, utamanya pada kasus-kasus yang jauh dari ibukota. Peristiwa
yang paling mutakhir dan masih lekat di benak masyarakat adalah Insiden Idul
Fitri di Kabupaten Tolikara, Papua. Pada peristiwa yang menyebabkan beberapa
kios dan masjid terbakar tersebut, kecorobohan media dalam pemberitaan terlihat
jelas.
Mulai dari narasumber yang bukan
saksi mata di lapangan, istilah-istilah yang bernada provokatif hingga
fakta-fakta lapangan yang memiliki tingkat akurasi yang rendah. Padahal jika diperhatikan lebih lanjut,
isu-isu yang sensitif seperti urusan
agama ini rentan untuk menyulut konflik horizontal di masyarakat. Media
hendaknya lebih arif dalam menampilkan fakta dan berita, tidak hanya sekedar adu cepat demi rating
yang tinggi seperti yang disampaikan Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu.
Pusat Kajian Media dan Komunikasi – Remotivi, yang berpusat
di Jakarta mencatat beberapa masalah dalam peliputan media atas kasus Tolikara
yaitu Pertama, Media
mengorbankan akurasi demi kecepatan. Banyak media secara tergesa–gesa
memberitakan bahwa telah terjadi pembubaran Sholat Ied dan pembakaran tempat
ibadah. Namun beberapa waktu kemudian mulai terjadi disinformasi: Tempat ibadah
tersebut dibakar atau terbakar? Amuk massa membakar kios beserta tempat ibadah
atau membakar kios dan merembet ke tempat ibadah? Semua semakin tidak jelas.
Kedua, pemberitaan yang bernada provokatif seperti menyebut bahwa
Insiden Tolikara adalah bukti kebencian orang Papua secara umum kepada umat
islam. Juga misalnya secara serampangan mengutip keterangan MUI dengan menyebut
bahwa pembakar masjid di Tolikara tidak pantas hidup di Indonesia.
Ketiga, narasumber yang elitis. Sebagian besar narasumber dalam
pemberitaan insiden Tolikara adalah para pejabat yang ada di Jakarta, yang jauh
dari lokasi kasus terjadi. Karenanya sulit untuk mempercayai media dapat
memberitakan peristiwa tersebut dengan jernih, jika tidak ada narasumber yang
benar-benar mengetahui fakta di lapangan. kecorobohan
bahkan bentuk provokasi media. Kedepan, tidak menutup kemungkinan
peristiwa-peristiwa seperti ini akan terus terulang.
Belajar dari kasus-kasus sebelumnya jangan sampai lagi
peristiwa seperti itu. Sikap masyarakat untuk lebih cerdas dalam menyikapi
pemberitaan sajian media .Bahkan jangan sampai terprovokasi dengan media yang
arah pembertaanya tidak jelas. Kita lemah dalam fungsi kontrol sajian media
yang ada di khalayak umum , apalagi dengan media hari ini sudah banyak
kepentingan kelompok. Komersialisasi Media Semakin tumbuh dan majunya media informasi
hari ini tidak terlepas dari pasar bebas, doktrin yang di lakukan penguasa dan
tatanan elit juga sangat berdampak efek buruk terhadap rakyat , apalagi
sasarannya pemuda .
Media
informasi yang seharusnya memberikan gambaran fakta serta fenomena di lapangan
. Sajian yang di berikan juga masih kurang baik. Banyaknya oknum-oknum di
lapangan para elit dalam kepentingan profitnya , melegalkan segala cara .
kepentingan politik juga menjadi incaran para elit , Maka belajar dari persolan
hari ini perbanyak membaca berita informasi tidak hanya satu , kalau bisa
membaca sebanyak-banyak sebagai sumber refrensi cerdas dalam menyikapi media
,yang itu menjadi sumber pengetahuan yang sifatnya membangun .
Oleh : M. Fauzi Priyantoro
Mahasiswa ABN Partai NasDem
Delegasi DPD Partai NasDem
Kabupaten Pasuruan
0 komentar:
Posting Komentar